Akhirnya punya waktu juga buat ngeblog! :D setelah melewati rutinitas kuliah, ngelesi and many things di bulan puasa ini bisa nge-share ilmu yang mungkin bisa bermanfaat...kali akan mengulas masalah hukum laut internasional yang menjadi mata kjuliah favorit gw semester ini :) hahah yukkk cekidot....
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM LAUT INTERNASIONAL
1. Jaman Romawi
o Kekaisaran Romawi menguasai hampir seluruh
Eropa, demikian juga dengan lautnya yang hampir secara keseluruhan dikuasai
oleh Romawi.
o Penguasaan atas laut oleh Kekaisaran Romawi
bertujuan agar laut bebas dari bajak laut sehingga keamanan pelayaran dapat
terjamin. Dengan amannya pelayaran maka perdagangan lancar dan pada akhirnya
kesejahteraan orang-orang yang hidup di daerah-daerah di bawah kekuasaan
Kekaisaran Romawi akan terjamin.
o Kekuasaan mutlak Kekaisaran Romawi dapat
dibenarkan karena dengan adanya penguasaan seperti itu Laut Tengah dapat bebas
dari ancaman bajak laut.
o Pemikiran hukum yang melandasi penguasaan
mutlak ini adalah res communis omnium yang artinya bahwa laut adalah hak/milik
bersama umat manusia. Menurut konsep ini laut adalah bebas dan terbuka bagi
setiap orang. Bebas artinya bebas dari ancaman bajak laut ketika sedang
memanfaatkan laut.
2. Jaman Abad Pertengahan
o Munculnya banyak negara-negara baru yang
sekaligus mengakhiri kekuasaan Kekaisaran Romawi di Eropa yang berarti berakhir
pula penguasaan Kekaisaran Romawi atas laut. Hal ini memunculkan masalah baru
yaitu : siapakah yang memiliki lautan di antara negara-negara baru merdeka
tersebut?
o Negara-negara baru tersebut masing-masing
menuntut sebagian dari laut yang berbatasan dengan pantainya dengan
bermacam-macam argumentasi, seperti : untuk perlindungan kesehatan/karantina;
bea cukai; atau pertahanan keamanan dan netralitas.
o Dengan adanya tuntutan dari negara-negara
merdeka tersebut, maka mereka tidak lagi memandang laut sebagai res communis
omnium. Kemudian diikuti secara sepihak oleh sebagian negara-negara di Eropa
Tengah yang menyatakan bahwa laut yang berbatasan dengan pantainya secara eksklusif
adalah haknya. Hal ini melahirkan kebutuhan akan perlunya penjelasan mengenai
hak-hak tersebut secara hukum termasuk pembatasan-pembatasannya.
o Pada masa ini munculnya usaha-usaha dari
para ahli hukum Romawi untuk mencari penyelesaiannya dengan menggunakan asas
hukum Romawi. Ahli-ahli hukum ini dua diantaranya adalah : Bartolus dan Baldus.
o Bartolus membagi laut menjadi 2 yaitu :
a) Laut yang berada di bawah kekuasaan dan
kedaulatan negara pantai;
b) Laut yang berada di luar itu yang disebut
dengan laut bebas (bebas dari kekuasaan dan kedaulatan siapa pun).
o Baldus membedakan 3 konsepsi yang
berhubungan dengan penguasaan atas laut yaitu:
a) Pemilikan atas laut;
b) Pemakaian atas laut;
c) Yurisdiksi atas laut dan wewenang untuk
melakukan tindakan-tindakan terhadap kepentingan-kepentingan di laut.
o Disamping kedua teori tersebut,
perkembangan Hukum Laut Internasional juga sangat dipengaruhi oleh
tindakan-tindakan sepihak negara-negara sebagai pelaksanaan kepentingan mereka
masing-masing yang meliputi:
a) Tindakan melindungi laut sebagai sumber
kekayaan alam (terutama perikanan);
b) Tindakan menganggap laut sebagai jalur
proteksi, baik bea cukai, kesehatan maupun keamanan;
c) Tindakan melindungi laut sebagai sarana
komunikasi.
o Tahun 1493 Paus Alexander VI membagi
seluruh laut dan samudra di dunia ini menjadi 2 yaitu :
a) Di sebelah barat garis meredien (garis
bujur) adalah milik Spanyol;
b) Di sebelah timut garis meredien (garis
bujur) adalah milik Portugis.
o Pembagian tersebut dikukuhkan dalam Perjanjian
Tordesilas (1494) antara Spanyol dan Portugis. Pembagian ini juga adalah uapaya
untuk mendamaikan perseteruan antara kedua negara tersebut sejak jatuhnya Kota
Konstantinopel ke tangan Turki. Portugis yang berhasil sampai ke Kepulauan
Maluku melalui Samudra Atlantik, Tanjung Harapan (Selatan Afrika) dan India
menganggap bahwa Samudra Atlantik dan Samudra Hindia yang mereka lalui sebagai
milik mereka. Demikian juga Spanyol yang sampai juga ke Kepulauan Maluku
melalui Samudra Pasifik setelah mengitari bagian selatan Benua Amerika menuntut
Samudra Pasifik sebagai miliknya.
o Pembagian tersebut tidak berlaku di lautan
sebelah utara Benua Eropa, hal ini dibuktikan dengan adanya klaim dominio maris
oleh Kerajaan Denmark, yang isinya menyatakan bahwa lautan yang berada di
antara pantai-pantai Norwegia, Denmark dan Greenland adalah berada di bawah
kekuasaan Kerajaan Denmark, sehingga masalah-masalah pelayaran, perikanan dan
pemberantasan bajak laut adalah di bawah pengaturan Kerajaan Denmark. Hal ini
diakui oleh Inggris, Perancis dan Belanda.
o Inggris melakukan hal serupa di bawah
pemerintahan Raja Charles II yang menyatakan bahwa laut yang berada di antara
Kepulauan Inggris (England, Scotland dan Ireland) adalah King’s Chamber yang
batas-batasnya diukur dengan menggunakan garis-garis lurus dari ujung ke ujung
Kepulauan Inggris.
o Tindakan Portugis, Spanyol, Inggris dan
Denmark tersebut ditentang oleh pihak yang memperjuangkan kebebasan berlayar
yang menurut mereka laut adalah bebas untuk dilayari oleh siapa pun. Pendukung
pendapat ini adalah HUGO GROTIUS.
3. Pertarungan Mare Liberum dan Mare Clausum
o Hugo Grotius dalam bukunya yang berjudul
Mare Liberum (1609) mengungkapkan pembelaan atas hak orang Belanda (dan orang
lain selain Spanyol dan Portugis) untuk mengarungi lautan. Argumentasi ini
didasarkan atas pembedaan pengertian antara imperium (souvereignty) dan
dominium (ownership). Menurutnya kedua hal tersebut berbeda, suatu negara dapat
memiliki kedualatan atas bagian-bagian tertentu dari laut tetapi pada umumnya
tidak dapat memiliki laut. Sedangkan berlayar dan menangkap ikan berkaitan
dengan pemilikan atas laut, oleh karena laut tidak dapat dimiliki, maka
berlayar dan menangkap ikan tidak dapat dilarang. Pendapat Hugo Grotius ini
dianggap menyerang keputusan Raja James I yang melarang nelayan Belanda untuk
menangkap ikan di dekat pantai Inggris.
o Muncul tanggapan dari penulis Inggris yaitu
Welwood dan Selden. Selden berpendapat tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa
laut tidak dapat dimiliki, karena pada kenyataannya Inggris telah secara nyata
memiliki dan menguasai daerah laut yang cukup luas. Perdebatan antara Grotius
dan penulis Inggris tersebut sering disebut sebagai Battle of The Books, karena
telah tejadi adu argumentasi melalui buku-buku.
o Muncul Pontanus sebagai penengah perdebatan
tersebut. Menurutnya kedaulatan adalah mencakup wewenang untuk melarang pihak
ketiga, sehingga wewenang untuk melarang pelayaran dan penangkapan ikan tidak
lagi dikaitkan dengan pemilikan atas laut. Pontanus membagi laut menjadi 2
bagian, yaitu:
a) Bagian laut yang berdekatan dengan pantai
(adjecent sea); bagian ini dapat dimiliki/di bawah kedaulatan negara pantai
(coastal state).
b) Bagian laut yang berada di luar itu, yang
meruapakan bagian yang bersifat bebas.
4. Teori Tembakan Meriam dan Asal-usul Kaidah
Lebar Laut
o Mochtar Kusumaatmadja : pada awal
perkembangan Hukum Laut, ada beberapa ukuran yang digunakan untuk menetapkan
lebar laut teritorial yaitu:
a) Ukuran tembakan meriam;
b) Ukuran pandangan mata; dan
c) Ukuran marine league.
o Lebar laut 3 mil pernah dinggap sebagai
kaidah lebar laut teritorial yang berlaku umum. Asal usul kaidah ini dianggap
berasal dari teori jarak tembak meriam yang dikemukakan oleh Cornellis van
Bynkershoek , namun kemudian pendapat ini disanggah oleh Reinfeld, Wyndham
Walker dan Kent. Menurut mereka hal ini harus dilihat dari dua sudut, yaitu:
a) LEBAR LAUT. Dari sudut lebar laut anggapan
bahwa lebar laut 3 mil barasal dari teori tembakan meriam dapat diterima
karena, itulah jarak tembakan meriam pada saat itu. Namun dengan adanya
kemajuan teknologi yang menyebabkan bertambahnya jarak tembak sebuah meriam,
maka hal ini menjadi kehilangan maknanya.
b) TERBENTANGNYA LAUT TERITORIAL SEPANJANG
PANTAI SEBAGAI SUATU JALUR YANG TIDAK TERPUTUSKAN. Dilihat dari sudut ini,
dalil tembakan meriam tidak mengenal konsepsi jalur yang memanjang sepanjang
pantai, tetapi didasarkan atas penguasaan pantai dengan kekuatan senjata
(meriam) yang terdapat pada tempat-tempat strategis tertentu. Jika teori ini
ingin diterapkan secara konsisten dan sempurna, maka akan memerlukan satuan
meriam yang sangat banyak yang ditempatkan sepanjang pantai.
o Pada akhirnya Mochtar Kusumaatmadja
menyimpulkan:
a) Secara historis konsepsi laut teritorial
lahir bersamaan dengan lahirnya konsepsi laut bebas, yaitu saat berakhirnya
pertentangan antara mare liberum dan mare clausum. Saat itu juga merupakan
lahirnya Hukum Laut Internasional Publik.
b) Selain untuk kepentingan keamanan dan
netralitas ada kepentingan-kepentingan lain yang mendorong negara-negara untuk
meluaskan kekuasaannya atas laut yang berbatasan dengan pantainya, yaitu:
pencegahan penyelundupan, kesehatan/karantina dan perlindungan perikanan. Pada
awal perkembangannya perlindungan tersebut ditampung dalam konsepsi laut teritorial,
tetapi di kemudian hari timbul perkembangan di mana ada jalur lain di luar laut
teritorial untuk kepentingan-kepentingan yang lain.
II. PERKEMBANGAN YURISDIKSI NEGARA ATAS LAUT
YANG BERBATASAN DENGAN PANTAINYA.
Kebutuhan yang bersifat khusus beberapa
negara (Inggris dan AS) telah menyebabkan klaim atas laut melebihi 3 mil yang
sebelumnya dianggap sebagai bagian laut.
Mengenai kekuasaan negara pantai atas laut
teritorial, perkembangan dalam masa permulaan sejarah hukum laut menunjukkan
bahwa tidak semua negara memberikan isi yang sama pada wewenang atau kekuasaan
negara dalam jalur laut ini. Ada beberapa negara yang menekankan pada aspek
pertahanan keamanan dan netralitas, sebaliknya adapula yang menekankan pada
aspek kekuasaan negara pantai untuk mengatur dan mengambil tindakan di bidang
perikanan.
Perbedaan tersebut disebabkan adanya
perbedaan latar belakang sejarah masing-masing usaha penanaman kekuasaan negara
pantai atas laut yang berbatasan dengan pantainya.
Namun demikian lambat laun terbina suatu
pendirian bahwa kekuasaan negara pantai dalam laut teritorialnya merupakan
kekuasaan yang meliputi segala segi kepentingan negara pantai. Kekuasaan penuh
negara pantai untuk menjamin kepentingan-kepentingannya dalam laut
teritorialnya digambarkan dengan pengertian kedaulatan (sovereignty).
1. Perkembangan Hukum Pemberantasan
Penyelundupan di Inggris.
Perkembangan terpenting adalah King’s Chamber
yang dituangkan dalam beberapa undang-undang yang diundangkan dalam rentang
waktu antara 1784 dan 1802.
Secara singkat isi berbagai undang-undang
tersebut adalah memperluas yurisdiksi kerajaan Inggris atas kapal-kapal
penyelundup tertentu hingga 12 mil tanpa membeda-bedakan pemilikan dari kapal,
sedangkan terhadap kapal-kapal lain, tindakan ini hanya dilakukan apabila
pemiliknya adalah kaula negara Inggris. Menembaki kapal bea-cukai dalam batas
12 mil dari pantai merupakan suatu kejahatan yang dapat dikenai hukum mati.
Perundang-undangan yang berlaku sebelumnya
dianggap masih tetap berlaku.
Abad 19 diadakan perundang-undangan yang
memperluas jurisdiksi dari 12 mil menjadi 24 mil dan akhirnya hingga 100 mil.
Perluasan ini adalah untuk mencegah penyelundupan hingga jarak yang cukup jauh
dari pantai ini dilakukan karena penyelundupan pada masa itu meningkat dengan
tajam.
Namun pada masa abad 19 tersebut terjadi
kekacauan penerapan perundang-undangan, karena terlalu banyak adanya peraturan
perundang-undangan yang baru, sedangkan peraturan yang lama masih tetap
dinyatakan berlaku. Oleh karena ini dilakukanlah penyederhanaan
perundang-undangan.
Untuk berlakunya yurisdiksi anti
penyelundupan, menurut perundang-undangan yang telah diperbarui antara tahun
1825 dan 1876, maka harus terjadi keadaan atau situasi sebagai berikut:
a) Kapal yang bersangkutan harus memeiliki
unsur-unsur pemilikan Inggris atau paling sedikit setengah awak kapal harus
berkebangsaan Inggris, di samping terdapatnya barang-barang atau alat-alat yang
terlarang (contraband). Dalam hal ini kapal tersebut dapat diperiksa oleh
bea-cukai dalam jarak antara 12 dan 25 mil.
b) Sebuah kapal asing yang mengangkut
barang-barang atau alat-alat yang terlarang dapat diperiksa dalam jarak 9 mil
dari pantai apabila ada seorang atau lebih kaula negara Inggris berada di atas
kapal.
c) Sebuah kapal asing yang mengangkut barang-barang
atau alat-alat yang terlarang tanpa ada seorang kaula Inggris di atasnya, hanya
dapat diperiksa dalam batas 3 mil dari pantai Inggris dan pulau yang terdapat
pada selat antara Inggris dan Perancis.
2. Perkembangan Hukum Pemberantasan Penyelundupan
di Amerika Serikat
• Adalah negara yang pertama kali menyatakan
bahwa ukuran lebar pantai 3 mil adalah terlepas dari ukuran jarak tembakan
meriam.
• Ukuran lebar laut 3 mil adalah ukuran yang
bersifat sementara, yang sewaktu-waktu dapat berubah.
• UU tahun 1790: bahwa kapal-kapal dapat
diperiksa oleh petugas bea-cukai dalam jarak 12 mil dari pantai untuk memeriksa
ada atau tidaknya manifest yang memuat perincian barang yang diangkut,
sebagaimana disyaratkan UU. UU ini juga memuat ketentuan denda bagi pihak yang
menghalang-halangi petugas bea-cukai dalam melaksanakan tugas.
• UU 1791: melarang pembongkaran muatan
minuman keras dalam jarak 12 mil, setelah barang tersebut meninggalkan AS.
• UU 1799: memberikan wewenang kepada
kapal-kapal bea-cukai untuk melepaskan tembakan terhadap kapal yang tidak
mengindahkan perintah-perintahnya.
• UU 1807: Kapal yang memuat budak dilarang
berlayar dalam jarak 12 mil dari pantai.
• UU 1922: yang menyebutkan bahwa yurisdiksi
anti penyelundupan tidak hanya terbatas pada minuman keras, tetapi pada segala
macam barang.
3. Perjanjian Inggris-Amerika
• Berlaku pada tanggal 24 Mei 1924.
• Pihak peserta mengakui bahwa lebah laut 3
mil adalah batas lebar laut teritorial yang paling tepat.
• Pihak Inggris setuju untuk tidak keberatan
diperiksanya kapal-kapal milik mereka di luar batas laut teritorial.
• Kapal-kapal yang mengangkut minuman keras
tidak akan disita asalkan tidak diperuntukkan untuk suatu pelabuhan di AS.
4. Konvensi Negara-negara Baltik.
• Diadakan tanggal 9 Agustus 1925
• Pesertanya adalah : Jerman, Denmark,
Estonia, Finlandia, Latvia, Lithuania, Norwegia, Polandia, Swedia, Kota Bebas
Danzig dan USSR.
• Bertujuan untuk memberantas perdagangan
gelap dalam minuman keras.
• Para peserta tidak akan keberatan dilakukannya
tindakan sesuai dengan UU negara pantai, dalam batas 12 mil diukur dari pantai,
jika kapal-kapal mereka ternyata kedapatan melakukan penyelundupan
MASALAH HUKUM LAUT DALAM
KONFERENSI KODIFIKASI DEN HAAG 1930
Konferensi tahun 1930 ini diselenggarakan
oleh LBB, yang sebenarnya tidak secara khusus membahas mengenai Hukum Laut. Konferensi
ini membahas 3 masalah dalam Hukum Internasional, yaitu:
• Kewarganegaraan
• Perairan teritorial, dan
• Tanggung jawab negara untuk kerugian yang
ditimbulkan dalam wilayahnya terhadap pribadi atau kekayaan orang asing.
1. Hasil Konferensi (Perairan Teritorial)
a. Laut Teritorial
• Tidak ada kesepakatan mengenai lebar laut
teritorial. Hal ini disebabkan karena sebagian besar peserta ingin memaksakan
diterimanya lebar laut teritorial 3 mil sebagai ukuran yang berlaku umum
(universal), atau dengan kata lain tidak adanya kesediaan dari sebagian besar
peserta konferensi untuk mengakui adanya praktik negara-negara yang memiliki
laut teritorial yang lebih lebar (daripada 3 mil) dan perlunya menampung
kenyataan itu dalam suatu rumus tentang lebar laut teritorial yang fleksibel.
• Pasal 1 : bahwa wilayah negara meliputi
suatu jalur laut yang disebut dengan laut teritorial. Kedaulatan pada wilayah
ini disamakan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam konvensi ini
dan ketentuan-ketentuan lain dalam Hukum Internasional.
• Pasal 2 : Laut teritorial meliputi ruang
udara di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. (sifat 3 dimensi laut
teritorial).
b. Hak Lintas Damai
• Pasal 3 (1) : Lintas adalah berlayar
melalui laut teritorial, baik untuk melewati tanpa masuk ke dalam perairan
pedalaman maupun untuk masuk ke perairan pedalaman, demikian juga menuju laut
bebas setelah meninggalkan laut pedalaman.
• Pasal 3 (2) : suatu lintasan bukan
merupakan lintas damai apabila kapal asing menggunakan laut teritorial suatu
negara untuk melakukan perbuatan yang merugikan keamanan, ketertiban umum dan
kepentingan fiskal negara pantai.
• Pasal 3 (3) ; termasuk pengertian hak
lintas adalah untuk berhenti dan membuang sauh sepanjang tindakan-tindakan
tersebut termasuk tindakan wajar yang diperlukan dalam navigasi normalatau
terpaksa dilakukan oleh kapal dalam keadaan force majeur.
• Pasal 4: kewajiban negara pantai untuk
tidak menghalang-halangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial.
Kapal selam diharuskan lewat di atas permukan air.
• Pasal 5: hak lintas damai kapal asing tidak
akan mengurangi hak negara pantai untuk mengambil segala tindakan yang
diperlukan untuk mencegah terjadinya segala gangguan terhadap keamanan,
ketertiban umum dan kepentingan fiskal di dalam laut teritorial dan sepanjang
mengenai kapal yang berada dalam laut teritorialnya, untuk melakukan penindakan
terhadap pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi kapal-kapal
asing yang melintasi wilayahnya.
• Pasal 6: Kapal-kapal asing yang melakukan
hak lintas damai diwajibkan untuk mentaati peraturan perundang-undangan atau
aturan-aturan lainnya yang dikeluarkan oleh negara pantai sesuai dengan
kebiasaan-kebiasaan internasional. Peraturan-perturan tersebut: (a) berkaitan
dengan keselamatan pelayaran dan keamanan lalu lintas serta cabotage; (b)
perlindungan terhadap bahaya pencemaran laut ; (c) perlindungan sumber kekayaan
laut; dan (d) perlindungan perikanan, perburuan serta hak-hak serupa yang
dimiliki negara pantai.
• Pasal 7: Negara pantai tidak boleh
melakukan diskriminasi dalam penerapan peraturan perundang-undangan antara
kapal yang satu dengan lainnya.
c. Yurisdiksi Pidana Dan Perdata Negara
Pantai Atas Kapal-Kapal Asing Di Dalam Laut Teritorial.
• Konvensi Den Haag 1930 menyatakan bahwa
kedaulatan membawa akibat dalam bidang hukum yaitu wewenang untuk melakukan
penuntutan atas pelanggaran-pelanggaran ketentuan-ketentuan perundang-undangan
umum negara pantai baik di bidang pidana maunpun perdata.
• Dalam sebuah kapal yang melalui laut
teritorial suatu negara pantai akan berlaku 2 yurisdiksi, yaitu yurisdiksi
negara pantai yang memiliki kedaulatan atas laut teritorial dan yurisdiksi negara
bendera kapal.
• Pasal 8 (1): negara pantai tidak dapat
melakukan penangkapan atau penahanan seseorang yang telah melakukan tindak
pidana di atas kapal selama dilakukannya lintas melalui laut teritorialnya,
kecuali: (a) apabila tindak pidana tersebut terasa hingga ke luar kapal, (b)
apabila tindak pidana tersebut mengganggu keamanan umum negara pantai atau
ketertiban umum dalam laut teritorial, dan (c) apabila kapten kapal telah
meminta pertolongan pejabat-pejabat setempat atau konsul dari negara bendera
kapal.
• Pasal 8 (2): tidak mengurangi hak negara
pantai untuk melakukan penangkapan atau penahanan yang didasarkan atas
perundang-undangan nasionalnya terhadap seseorang yang berada di atas kapal
asing yang berada di perairan pedalaman atau yang berlabuh dalam laut
teritorial, atau yang sedang lintas dalam laut teritorialnya menuju perairan
pedalaman.
• Pasal 8 (3): pejabat-pejabat negara pantai
harus selalu memperhatikan kepentingan pelayaran dalam melakukan penangkapan
atau penahanan seseorang di atas kapal.
• Pasal 9 (1): negara pantai tidak dapat
menahan ataupun mengubah rute sebuah kapal asing yang sedang melakukan lintas
melalui laut teritorialnya, untuk melaksanakan yurisdiksi perdatanya berkaitan
dengan seseorang yang berada di atas kapal. Negara pantai tidak boleh
melaksanakan tindakan-tindakan eksekusi atau sita jaminan terhadap
perkara-perkara perdata, kecuali tindakan-tindakan tersebut dilakukan berkaitan
dengan kewajiban-kewajiban atau tanggung jawab perdata yang dilakukan oleh
kapal yang bersangkutan berhubungan dengan pelayaran serta lintasan yang
dilkukan dalam perairan negara pantai.
• Pasal 9 (2): tidak mengurangi hak negara
pantai untuk mengambil tindakan-tindakan eksekusi atau sita jaminan dalam
perkara perdata yang berasaskan perundang-undangannya berkaitan dengan suatu
kapal asing yang berada di perairan pedalaman atau yang sedang lintas dalam
laut teritorialnya menuju perairan pedalaman.
• Pasal 10: ketentuan yang tersebut dalam
Pasal 8 dan 9 tidak berlaku bagi kapal-kapal pemerintah atau negara asing yang
tidak digunakan untuk pelayaran perdagangan, misalnya kapal perang dan kapal
pemerintah.
d. Pengejaran Seketika (hot pursuit)
• Pasal 11 (1): pengejaran seketika suatu
kapal asing yang telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan
negara pantai, dimulai pada saat kapal asing tersebut sedang berada dalam
perairan pedalaman atau dalam laut teritorial, dan dapat diteruskan hingga ke
laut lepas asalkan pengejaran tersebut dilakukan tanpa henti.
• Hak pengejaran seketika berhenti pada saat
kapal yang dikejar memasuki laut teritorial negaranya atau negara ketiga.
• Pasal 11 (2): Pengejaran seketika dianggap
dimulai setelah kapal yang melakukan pengejaran yakin bahwa kapal yang dikejar
benar-benar berada di dalam batas-batas laut teritorialnya dan pengejaran
dimulai setelah memberikan tanda untuk berhenti.
• Dalam hal dilakukan penangkapan, maka hal
ini harus secepatnya (tanpa penundaan) diberitahukan kepada negara asal kapal
yang ditangkap.
e. Hak Lintas Kapal Perang
• Belum ada kesepakatan antara negara peserta
mengenai hal ini.
• Pasal 12 (1): negara pantai tidak dapat
menghalang-halangi lintas kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya
dan tidak dapat meminta agar terlebih dulu harus diberikan ijin atau
pemberitahuan.
• Negara pantai berhak untuk mengatur
syarat-syarat bagi lintas kapal perang asing yang melalui laut teritorialnya.
• Kapal selam perang wajib untuk melakukan
lintas di atas permukaan laut.
f. Arti Penting Konferensi Den Haag 1930
• Meletakkan dasar-dasar bagi perkembangan
hukum laut internasional publik masa kini. Artinya, konferensi ini telah
menghasilkan gagasan-gagasan yang kemudian merupakan benih-benih bagi
pertumbuhan hukum laut internasional publik masa kini, misalnya konsep negara
kepulauan, konsep jalur tambahan (contiguous zone), dan perlindungan perikanan.
• Sebagai jembatan penghubung antara hukum
laut internasional klasik dan hukum laut internasional modern.
PERKEMBANGAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL
SETELAH PERANG DUNIA II
Setelah PD II terjadi perkembangan HLI yang
disebabkan oleh :
• Munculnya negara-negara merdeka baru yang
berakibat berubahnya peta politik dunia;
• Terjadinya perkembangan iptek yang sangat
pesat;
• Semakin bergantungnya negara-negara pada
laut sebagai sumber kekayaan hayati (misalkan perikanan) maupun non-hayati
(misalkan migas).
Selanjutnya terdapat beberapa peristiwa
penting yang sangat berpengaruh pada perkembangan HLI, yaitu:
1. Proklamasi Presiden Truman 1945 tentang
Landas Kontinen dan Perikanan;
2. Sengketa Perikanan antara Inggris dan
Norwegia (Anglo Norwegian Fisheries Case) tahun 1951;
3. Klaim-klaim yang diajukan oleh beberapa
negara Amerika Latin yang berkenaan dengan suatu jalur laut 200 mil.
1. PROKLAMASI TRUMAN 28 SEPTEMBER 1945
a. Tentang Landas Kontinen
• Sumber-sumber alam yang berada dalam
bawah tanah (sub soil) dan dasar laut (seabed) di bawah laut lepas, tetapi
bersambungan dengan pantai-pantai AS adalah berada atau tunduk kepada
yurisdiksi dan pengawasan AS.
• Dalam hal dataran kontinen yang demikian
memanjang sampai ke wilayah pantai negara lain, maka perbatasannya akan
ditentukan oleh AS dan negara-negara yang bersangkutan sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan.
• Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi
sifat laut lepas di atas dataran kontinen tersebut dan hak untuk melakukan
pelayaran bebas tanpa rintangan pada laut itu.
• Proklamasi ini memunculkan pengertian
baru yaitu bahwa landas kontinen adalah kelanjutan alamiah dari wilayah
daratan, sehingga sudah sepantasnyalah kekuasaan untuk mengaturnya ada di
tangan negara pantai yang berbatasan dengan dataran kontinen yang bersangkutan.
• Proklamasi ini memperluas wewenang AS
untuk mengambil kekayaan alam dari dasar laut yang berbatasan dengan pantainya,
termasuk tanah yang ada di bawahnya, namun tetap mempertahankan kebebasan
berlayar di laut lepas dalam perairan di atasnya. Jadi yurisdiksi yang muncul
bukanlah yurisdiksi penuh, yurisdiksi penuh AS tetap terbats pada laut
teritorial 3 mil.
• Proklamasi ini didasarkan pada
argumentasi yang bersifat geologis berbeda dengan penguasaan serupa yang
dilakukan sebelumnya oleh negara lain yang didasarkan pada penguasaan efektif
(effective occupation) atau atas dasar hak sejarah (prescription).
• Hal ini kemudian diikuti oleh Mexico
(29 Oktober 1945), Panama (11 Maret 1946) dan Argentina (9 Oktober 1946).
• Tindakan-tindakan sepihak negara-negara
tentang dasar laut dan tanah di bawahnya itu dibedakan ke dalam 4 golongan:
1. Tindakan yurisdiksi yang ditujukan
pada penguasaan kekayaan alam yang terkandung dalam dasar laut dan tanah di
bawahnya yang berbatasan dengan pantai negara itu;
2. Perluasan yurisdiksi atas dasar laut dan
tanah di bawahnya;
3. Perluasan kedaulatan atas landas kontinen
dan perairan di atasnya;
4. Perluasan kedaulatan atas lautan (dengan
atau pun tanpa menyebut landas kontinen) hingga suatu jarak tertentu.
b. Tentang Perikanan
• Dalam hal kegiatan perikanan di laut dekat
pantai AS selama ini atau dalam waktu yang akan datang dilakukan oleh warga
negara AS, maka pemerintah AS menganggap sudah sepantasnyalah jika AS
menetapkan zona perlindungan perikanan yang mana kegiatan perikanan di zona
tersebut seluruhnya berada di bawah pengaturan AS.
• Dalam hal pada masa yang lampau kegiatan
perikanan dilakukan dan dikembangkan juga oleh nelayan-nelayan asing, maka AS
dan negara asing yang bersangkutan melalui perjanjian dapat menetapkan zona
perlindungan perikanan. Kegiatan dalam zone tersebut diatur dalam perjanjian.
• AS mengakui hak negara lain untuk
menentukan zona perlindungan perikanan yang serupa, asalkan kegiatan perikanan
warga negara AS yang telah ada di daerah itu tetap diakui.
• Ketentuan ini tidak akan mempengaruhi
status laut lepas yang bersangkutan sebagai laut bebas.
2. ANGLO NORWEGIAN FISHERIES CASE 1951
Juli 1935 Norwegia melalui Royal Decree
menetapkan batas-batas perairan perikanan yang tertutup bagi nelayan-nelayan
asing. Dekrit ini menunjuk pada dekrit-dekrit serupa yang sudah pernah
dikeluarkan sebelumnya pada tahun 1812, 1869, 1881, dan 1889. Pada bagian
pertimbangan disebutkan : hak-hak nasional yang telah lama ada atau diakui
dalam sejarah, keadaan geografis yang spesifik dari pantai Norwegia serta untuk
melindungi dan mengamankan kepentingan vital penduduk yang ada di bagian utara
Norwegia.
Yang menjadi persoalan bagi Inggris bukanlah
lebar laut teritorial 4 mil yang diklaim Norwegia, tetapi cara penarikan garis
pangkal lurus sebagaimana yang ditetapkan dalam Firman Raja 1935 bertentangan
dengan ketentuan Hukum Internasional yang berlaku. Oleh karena Inggris maupun
Norwegia telah menerima yurisdiksi wajib Mahkamah Internasional berdasarkan
klusula opsional (optional clause) maka Inggris mengajukan tuntutan terhadap
Norwegia itu ke Mahkalah Internasional.
Terdapat dua pertentangan antara kedua
negara, yaitu:
1. Menurut Inggris : garis harus ditarik
menurut garis pasang surut (low tide elevation) dari suatu tanah daratan tetap
(permanent dry land) dari bagian wilayah Norwegia. Skjaergaard (gugusan pulau
yang terdapat di hadapan pantai Norwegia) bukan merupakan bagian wilayah
daratan tetap Norwegia, oleh karenanya garis pangkal tidak dapat ditarik dari
gugusan pulau tersebut. Sedangkan menurut Norwegia gugusan pulau tersebut
merupakan bagian dari wilayah Norwegia sehingga garis pangkal dapat ditarik
dari sana.
2. Perbedaan pendapat dalam hal penerapan
cara penarikan garis pangkal yang ditarik menurut garis pasang surut.
Mahkamah Internasional menelaah 3 cara
penarikan garis pangkal yang didasarkan prinsip pasang surut, yaitu:
• Trace parallele : yaitu garis batas luar
mengikuti segala liku dari garis pasang surut.
• Arc of circles : yaitu garis batas luar
langgsung ditentukan tanpa adanya garis pangkal terlebih dulu.
• Straight base-line : yaitu garis pangkal
tidak ditarik tepat menurut segala liku garis pasang surut, melainkan garis
lurus ditarik dengan menghubungkan titik-titik tertentu yang berbeda pada garis
pasang surut.
Menurut Inggris penarikan garis pangkal lurus
hanyalah suatu pengecualian, yang dapat dibenarkan dalam hal-hal tertentu dan
dengan pembatasan-pembatasan tertentu pula. Inggris berpendapat bahwa Norwegia
hanya dapat dibenarkan untuk menarik GPL di muka suatu teluk dan tidak dari
suatu pulau ke pulau lain di depan pantai Norwegia atau di depan gugus pulau.
Disamping itu panjang garis pangkal di muka suatu teluk tidak boleh melebihi
ukuran panjang 10 mil.
Inggris mengakui bahwa laut yang berada di
antara gugusan pulau dan daratan Norwegia dan laut di teluk-teluk atau anak
laut yang dinamakan fyord atau sunds adalah laut teritorial atau perairan
pedalaman Norwegia. Tetapi hal itu hanya didasarkan atas adanya hak sejarah
(prescription) sehingga hal itu merupakan pengecualian.
Inggris juga berpendapat bahwa panjang GPL
yang ditarik dari pulau ke pulau atau gugus pulau di maka pantai sekalipun
bukan merupakan teluk tidak boleh melebih 10 mil.
PUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL
1. Menolak pendapat Inggris bahwa GPL hanya
dapat ditarik dari muka suatu teluk, alasannya : jika cara penarikan GPL dapat
dibenarkan sebagai salah satu cara penarikan garis pangkal, maka tidak ada
alasan mengapa garis-garis lurus yang demikian tidak dapt ditarik dari (di
antara) pulau-pulau kecil dan karang serta skjaergaard yang terdapat antara dua
titik dari pantai daratan (inter fauces terrarum).
2. Tidak dapat menerima dalil Inggris bahwa
panjang GPL tidak dapat melebihi 10 mil. Alasannya, karena walupun ukuran 10
mil memang dianut dalam beberapa praktik negara-negara dalam perjanjian antar
mereka dan disebut pula dalam beberapa putusan arbitrase, namun ukuran 10 mil
bukan kaedah internasional umum.
3. Berpendapat bahwa tindakan pemerintah
Norwegia dalam menentukan garis pangkal bagi pembatasan zone perikanannya
melalui Royal Decree 1935 tersebut tidak melanggar ketentuan HI.
3. KLAIM-KLAIM YANG DIAJUKAN OLEH
NEGARA-NEGARA AMERIKA LATIN
• Klaim yang diajukan oleh beberapa negara
Amerika Latin atas suatu jalur laut 200 mil.
• Ditandai dengan Deklarasi Presiden Chile
(23 Juni 1947) dan Deklarasi Presiden Peru (1 Agustus 1947).
• Berbeda dengan Proklamasi Truman 1945 yang
didasarkan atas argumentasi geologis (yaitu bahwa landas kontinen adalah
kelanjutan alamiah daratan atau pantai), maka kedua deklarasi tersebut justru
didasarkan atas alasan tidak adanya landas kontinen dalam arti geologis di muka
pantai kedua negara tersebut, sehingga perlu adanya kompensasi atas keadaan
itu.
• Argumentasi tersebut diperkuat dengan
adanya argumentasi biologis yang disebut teori bioma.
• Perpaduan antara argumentasi geologis dan
biologis tersebut disampaikan dalam Deklarasi Santiago 18 September 1952
(pesertanya ditambah Equador).
• Ketiga negara tersebut (Peru, Chile dan
Equador) menghendaki lebar laut 200 mil karena, dalam ekosistem yang mengandung
bioma-bioma di daerah yang meliputi Chile, Equador dan Peru, arus laut Humbolt
(atau arus laut Peru) memegang peranan penting sebagai faktor utama dalam
kehidupan biologis daerah-daerah ini. Karena saling ketergantungan antara
kehidupan di darat dan sumber kekayaan di laut, maka perlindungan kekayaan laut
menjadi soal hidup mati ketiga negara tersebut. Letak arus Humbolt tidak sama
letaknya dari ketiga negara, namun batas lingkungan bioma-bioma yang tergantung
padanya terletak rata-rata dalam batas 200 mil dari pantai.
KONFERENSI HUKUM LAUT JENEWA1958
• Dasar hukumnya adalah Resolusi Majelis Umum
PBB No. 1105 (XI) 21 Februari 1957.
• Berlangsung dari tanggal 24 Feberuari
sampai 27 April 1958.
• Dihadiri 86 negara
• Menghasilkan 4 Konvensi, yaitu:
1) Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan
(Convention on Territorial
Sea and Contiguous Zone);
2) Konvensi II tentang Laut Lepas (Convention on the High Sea);
3) Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati
Laut Lepas (Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of
the High Sea);
4) Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on Continental
Shelf)
1. KONVENSI I TENTANG LAUT TERITORIAL DAN JALUR TAMBAHAN
• Tidak berhasil memutuskan mengenai lebar laut teritorial.
• Laut teritorial adalah jalur yang terletak di sepanjang pantai
suatu negara dan berada di bawah kedaulatan negara tersebut. (Pasal 1).
• Kedaulatan negara atas laut teritorial juga mencakup ruang udara
di atasnya dan dasar laut serta tanah di bawahnya. (Pasal 2).
• Garis pasang surut (low water mark) sebagai garis pangkal biasa
atau garis pangkal normal (normal base-line). (Pasal 3).
• GPL digunakan dalam keadaan tertentu (Pasal 4 ayat (1)), yaitu:
o Di tempat-tempat di mana pantainya banyak liku-liku tajam dan
laut masuk jauh ke dalam; dan
o Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tidak jauh dari pantai.
• Syarat-syarat penarikan GPL (Pasal 4 ayat (2) (3) dan (4)):
o Garis-garis lurus itu tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari
arah umum pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi
darat) dari garis-garis itu harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat
diatur oleh rezim perairan pedalaman;
o Garis-garis lurus tidak boleh ditarik diantara dua pulau atau
bagian daratan yang hanya timbul di atas permukaan air pada waktu surut,
kecuali jika di atasnya didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi
serupa yang setiap saat ada di atas permukaan air;
o Penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa
sehingga memutuskan hubungan laut teritorial negara lain dengan laut lepas.
• Perairan pedalaman adalah perairan pada
sisi darat dari garis pangkal laut teritorial. (Pasal 5). Pada perairan ini
kapal-kapal asing mempunyai HLD. Dengan demikian pasal ini menciptakan sebuah
konsep baru yaitu suatu bagian dari perairan wilayah yang berbentuk perairan
pedalaman tetapi dengan rezim hukum yang serupa dengan laut teritorial.
• Panjang maksimum closing line sebuah teluk adalah 24 mil (dua
kali lebar maksimum laut teritorial). (Pasal 7 (4)).
• Semua kapal termasuk kapal asing mempunyai HLD. (Pasal 14).
• Lintas adalah pelayaran melalui laut teritorial baik dengan
maksud untuk melewati laut teritorial itu tanpa memasuki perairan pedalaman
maupun untuk melanjutkannya ke perairan pedalaman atau menuju laut lepas dari
perairan pedalaman (Pasal 14 ayat (2)).
• Lintas termasuk berhenti dan membuang sauh sepanjang diperlukan
dalam pelayaran biasa (normal) atau karena force majeur atau karena keadaan
bahaya (distress). Artinya apabila berhentinya kapal atau pembuangan sauh
tersebuttidak diperlukan dalam pelayaran normal, atau bukan karena force
majeur, atau karena keadaan bahaya maka hal tersebut bukan merupakan lintas.
Pengertian lintas adalah unsur pokok pertama dari pengertian lintas damai, jadi
jika suatu pelayaran tidak memenuhi syarat lintas berarti bukan merupakan
lintas damai, walaupun unsur pokok kedua (sifat damai) dipenuhi. (Pasal 14
(3)).
• Suatu lintas adalah damai sepanjang tidak bertentangan dengan
perdamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai. Lintas yang demikian harus
sesuai dengan ketentuan-ketentuan HI. (Pasal 14 (4)).
• Lintas dari kapal-kapal penangkap ikan asing harus tidak
dianggap sebagai damai jika tidak mematuhi hukum dan perundang-undangan negara
pantai yang mungkin dibuat dan diberlakukan dalam rangka mencegah kapal-kapal
ini melakukan penangkapan ikan dalam laut teritorial. (Pasal 14 (5)).
• Kapal-kapal selam diharuskan berlayar di atas permukaan air dan
menunjukkan benderanya. (pasal 14 (6)).
• Negara pantai berhak mengatur lalu lintas kapal untuk mencegah
lalu lintas yang merugikan kepentingannya. (Pasal 16 (1)).
• Kapal asing wajib mentaati undang-undang dan peraturan negara
pantai untuk mengatur lalu lintas pelayarannya. Namun bukan berarti negara
pantai dapat dengan bebas mencegah atau menghalangi semua lintas kapal asing
dalam laut teritorialnya. (Pasal 16 (2)).
• Syarat-syarat bagi negara pantai untuk mencegah lintas kapal
asing dalam laut teritorialnya:
o Tindakan tidak boleh bersifat diskriminatif
antar kapal asing;
o
bersifatàLarangan
harus bersifat terbatas baik waktu maupun tempatnya sementara dan hanya berlaku pada
bigian-bagian tertentu dari laut teritorialnya;
o Larangan tidak bersifat mutlak, hanya
bersifat menangguhkan saja.
• Terhadap kapal-kapal pemerintah yang
digunakan dalam pelayaran niaga yang melakukan lintas di laut teritorial negara
pantai, maka negara pantai berhak untuk memungut bayaran, serta mempunyai
yurisdiksi kriminal dan perdata (tertentu) terhadapnya. Sedangkan terhadap
kapal pemerintah yang bukan kapal perang, berlaku ketentuan umum lintas damai.
• Dalam hal kapal perang tidak menaati
peraturan-peraturan negara pantai tentang lalu lintas dalam laut teritorialnya
dan tidak menghiraukan permintaan negara pantai untuk memenuhi peraturan
tersebut, maka negara pantai berhak memerintahkan agar kapal tersebut
meninggalkan laut teritorialnya.
2. KONVENSI II TENTANG LAUT LEPAS
• Laut lepas adalah setiap bagian laut yang
tidak merupakan laut teritorial atau laut pedalaman suatu negara. (Pasal 1).
• Empat prinsip kebebasan laut lepas:
o Kebebasan pelayaran;
o Kebebasan menangkap ikan;
o Kebebasan untuk memasang kabel dan
saluran-saluran pipa bawah permukaan laut;
o Kebebasan untuk terbang di atas laut lepas.
• Pasal 5 mengatur mengenai kebangsaan,
registrasi dan bendera kapal.
perompakan di laut.à•
Pasal 14-21
• Pasal 22 mengatur syarat agar kapal perang
dapat dibenarkan menghentikan dan memeriksa suatu kapal asing adalah apabila
terdapat kecurigaan bahwa:
o Kapal itu terlibat perompakan;
o Terlibat perdagangan budak;
o Walaupun mengibarkan bendera asing atau
menolak menunjukkan bendera, kapal itu sebenarnya sekebangsaan dengan kapal
yang memeriksa.
• Pasal 23 mengatur mengenai hot pursuit,
yang mengandung unsur-unsur hot pursuitàbaru
jika dibandingkan dengan Konferensi Den Haag 1930 dapat dimulai tidak hanya jika kapal yang
melakukan pelanggaran itu, barada di laut teritorial, tetapi juga jika
melakukan pelanggaran di jalur tambahan, dengan syarat bahwa perbuatan yang
dilakukan itu merupakan pelanggaran terhadap salah satu kepentingan dari
diadakannya jalur tambahan itu. Diatur juga pengejaran yang dilakukan oleh
kapal terbang, dan ketentuan tentang pembayaran ganti kerugian jika kapal asing
yang dikejar itu menderita kerugian akibat suatu pengejaran yang tidak dapat
dibenarkan atau tidak memenuhi syarat sebagai pengejaran seketika.
3. KONVENSI III TENTANG PERIKANAN DAN
PERLINDUNGAN KEKAYAAN HAYATI LAUT LEPAS.
• Bertujuan untuk menggalang kerja sama
internasional dalam pencegahan dan penanggulangan sumber kekayaan hayati di
laut lepas.
• Pasal 1 (1) mengakui nelayan negara-negara
untuk melakukan penangkapan ikan di laut lepas namun dengan
pembatasan-pembatasan:
o yang ditentukan dalam perjanjian-perjanjian
negara mereka dengan negara lain;
o kepentingan dan hak-hak negara pantai;
o ketentuan-ketentuan mengenai perlindungan
perikanan sebagaimana ditetapkan dalam konvensi ini.
• Selanjutnya ayat (2) menegaskan kewajiban
negara-negara untuk mengadakan tindakan-tindakan yang diperlukan bagi
perlindungan kekayaan hayati laut, baik secara sepihak maupun melalui kerja
sama dengan negara-negara lain.
• Sistematika pembahasan perlindungan
perikanan dalam konvensi ini:
o Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati
laut lepas yang berjauhan dari pantai negara yang nelayan-nelayannya menangkap
ikan di sana;
o Perlindungan perikanan dan kekayaan hayati
laut lepas yang berbatasan dengan laut teritorial salah satu pihak;
o Kepentingan istimewa suatu negara pantai
dalam perlindungan perikanan dan kekayaan hayati laut lepas yang tidak
berbatasan dengan pantainya sedangkan nelayan-nelayannya tidak menangkap ikan
di sana.
4. KONVENSI IV TENTANG LANDAS KONTINEN
• Landas kontinen merujuk pada:
a) Dasar laut dan tanah bawah dari
daerah-daerah dasar laut yang berdekatan dengan pantai tetapi di luar daerah
laut teritorial, sampai pada kedalaman 200 meter, atau di luar batas itu sampai
pada kedalaman air yang memungkinkan eksploitasi sumber-sumber daya alam di
daerah-daerah yang disebutkan itu;
b) Dasar laut dan tanah bawah dari
daerah-daerah dasar laut yang sama yang berdekatan dengan pantai dari
pulau-pulau.
• Hak-hak negara pantai atas landas kontinen
adalah:
a) Negara pantai menikmati hak-hak kedaulatan
atas landas kontinen itu untuk maksud mengeksplorasinya dan mengeksploitasi
sumber-sumber daya alamnya;
b) Hak-hak tersebut bersifat eksklusif,
artinya jika negara pantai tidak mampu mengeksplorasi landas kontinen atau
mengeksploitasi sumber-sumber daya alamnya, maka negara lain tidak dapat
menjalankan aktifitas-aktifitas itu atau mengajukan klaim terhadap landas
kontinen tersebut tanpa persetujuan tegas dari negara pantai;
c) Hak-hak negara pantai atas landas kontinen
itu tidak tergantung pada pendudukan (occupation) baik secara efektif maupun
secara anggapan, ataupun atas dasar pengumuman yang tegas;
d) Sumber-sumber daya alam terdiri atas
mineral dan sumber-sumber non-hayati lain dari dasar laut dan tanah di
bawahnya, juga organisme-organisme hayati yang termasuk spisies menetap seperti
organisme yang, pada tahap dapat dipanen, baik yang tidak mampu bergerak di
atas atau di bawah dasar laut atau tidak mampu berpindah kecuali dalam kontak
fisik yang konstan dengan dasar laut atau tanah di bawahnya.
• Pasal 4 menyatakan bahwa dalam melaksanakan
hak-haknya untuk melakukan eksplorasi landas kontinen dan eksploitasi kekayaan
alam di dalamnya, negara pantai tidak boleh menghalang-halangi pemasangan kabel
dan saluran pipa di atas dasar landas kontinen.
• Pasal 5 menyatakan bahwa pelaksanaan
hak-hak negara pantai atas landas kontinen tidak boleh mengakibatkan gangguan
terhadap pelayaran, penangkapan ikan atau tindakan-tindakan perlindungan
kekayaan hayati laut, serta tidak boleh pula mengganggu penyelidikan
oceanografi dan penyelidikan ilmiah lainnya yang dilakukan untuk kepentingan
ilmu pengetahuan.
• Sedangkan bagi pihak-pihak yang hendak
melakukan penyelidikan ilmiah di landas kontinen, terlebih dulu harus ada ijin
dari negara pantai dan kemudian wajib mengumumkan hasil-hasil penelitian itu
secara terbuka.
INDONESIA DAN PERKEMBANGAN HLI DEWASA INI
1. Deklarasi Djuanda
Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada
tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda
Kartawidjaja, adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut
Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan
Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara
Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu
Teritoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam
peraturan jaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan
oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling
sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas
melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia
menganut prinsip-prinsip negara kepulauan (Archipelagic State) yang pada saat
itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut
antarpulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas.
Deklarasi ini menyatakan hal-hal :
a. Perairan di sekitar, di antara dan yang
menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara
RI dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian-bagian yang wajar
dari wilayah daratan Negara RI dan dengan demikian merupakan bagian dari
perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara RI.
b. Lintas damai di perairan pedalaman bagi
kapal asing terjamin, selama dan sekadar tidak bertentangan dengan kedaulatan
dan keselamatan Negara RI.
c. Penentuan batas laut teritorial yang
lebarnya 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik-titik
terluar pada pulau-pulau Negara RI akan ditentukan dengan UU.
Pertimbangan yang mendorong dekeluarkannya
Deklarasi Djuanda :
a. Bahwa bentuk geografi RI sebagai suatu
negara kepulauan yang terdiri dari beribu-ribu pulau, memiliki sifat dan corak
tersendiri pula;
b. Untuk kesatuan wilayah Negara RI, maka
semua pulau serta laut yang terletak di antaranyaharus dianggap sebagai satu
kesatuan yang bulat;
c. Bahwa penetapan batas-batas laut
teritorial yang diwarisi dari pemerintah kolonial Belanda sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) TZMKO 1939 tidak sesuai lagi dengan
kepentingan keselamatan dan keamanan Negara RI.
d. Bahwa setiap negara yang berdaulat berhak
dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dipandang perlu untuk
melindungi keutuhan dan keselamatan negaranya.
Setelah dikeluarkan, beberapa negara
menyatakan tidak mengakui klaim Indonesia atas perairan di sekitar dan di
antara pulau-pulaunya, negara-negara tersebut adalah: AS, Australia, Inggris,
Belanda, dan New Zealand. Sedangkan yang setuju hanyalah RRC dan USSR. Oleh
karena ketidaksetujuan negara-negara tersebut maka deklarasi ini ditangguhkan pelaksanaannya.
Usaha untuk memperoleh pengakuan bagi
pengaturan laut wilayah yang didasarkan atas konsep negara kepulauan
(archipelago) melalui forum internasional, yaitu melalui Konferensi Hukum Laut
Internasional di Jenewa 1958, juga tidak membuahkan hasil, karena negara
peserta yang langsung berkepentingan dan menaruh perhatian pada masalah
tersebut jumlahnya sangat kecil jumlahnya. Walaupun tidak ada keputusan
mengenai konsep negara kepulauan, pemerintah akhirnya tetap pada kebijakan yang
digariskan dalam Deklarasi Djuanda tersebut.
UU No. 4/Prp Tahun 1960 Tentang Perairan
Indonesia
Setelah mengalami penundaan lebih dari 2
tahun, maka akhirnya pengaturan perairan Indonesia yang dasar-dasarnya telah
ditetapkan dalam Deklarasi Djuanda ditetapkan menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia .
Asas-asas pokok konsep nusantara dalam uu
tersebut:
a. Untuk kesatuan bangsa, integritas wilayah
dan kesatuan ekonomi, maka ditarik GPL yang menghubungkan titik-titik terluar
dari pulau-pulau terluar;
b. Negara berdaulat atas segala perairan yang
terletak dalam GPL, termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya maupun ruang
udara di atasnya, dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya;
c. Jalur laut wilayah selebar 12 mil diukur
terhitung dari GPL;
d. HLD kapal asing melalui perairan nusantara
dijamin, selama tidak merugikan kepentingan negara pantai dan mengganggu
keamanan dan ketertibannya.
Penggunaan GPL berakibat:
a) Terjadinya jalur wilayah yang melingkari
kepulauan Indonesia;
b) Perairan yang terletak pada sisi dalam GPL
berubah statusnya dari laut teritorial atau laut lepas menjadi perairan
pedalaman;
c) Bertambahnya luas wilayah Indonesia yang
semula 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km².
PP No. 8 Tahun 1962 Tentang Lalu Lintas Damai
Kendaraan Air Asing
• Ditetapkan tanggal 28 Juli 1962
• Pasal 2: pengertian lintas laut damai yaitu
pelayaran untuk maksud damai yang melintas laut wilayah dan perairan pedalaman
Indonesia dari laut bebas ke suatu pelabuhan Indonesia dan sebaliknya, dari
laut bebas ke laut bebas.
• Pasal 3: lalu lintas kapal asing dianggap
damai selama tidak bertentangan dengan keamanan, ketertiban umum kepentingan
dan/atau tidak mengganggu perdamaian Negara RI.
• Presiden RI dapat melarang untuk sementara
waktu lalu lintas damai kendaraan air asing di bagian-bagian tertentu dari
perairan Indonesia, apabila dianggap perlu untuk menjamin kedaulatan dan
keselamatan negara.
• Memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur
lintas damai kapal jenis khusus : (1) kapal penelitian, (2) kapal nelayan, dan
(3) kapal-kapal perang dan kapal pemerintah yang bukan kapal niaga.
• Adanya alur-alur pelayaran yang
diperuntukkan bagi kapal-kapal perang (dan kapal pemerintah non niaga) dan
kapal-kapal nelayan.
• Kapal-kapal perang asing yang melalui
alur-alaur pelayaran tidak perlu memenuhi syarat pemberitahuan yang berlaku
bagi lintas damai di perairan nusantara.
Pengumuman Pemerintah Tentang Landas Kontinen
Indonesia
• Diumumkan tanggal 17 Februari 1969.
• Memuat pokok-pokok:
o Segala sumber kekayaan alam yang terdapat
dalam landas kontinen Indonesia adalah milik eksklusif Indonesia;
o Pemerintah indonesia bersedia menyelesaikan
soal garis batas landas kontinen dengan negara tetangga melalui perundingan ;
o Jika tidak ada perjanjian garis batas, maka
batas landas kontinen Indonesia adalah suatu garis yang ditarik di
tengah-tengah antara pulau terluar Indonesia dengan titik terluar wilayah
negara tetangga.
o Klaim tersebut tidak akan memengaruhisifat
serta status perairan di atas landas kontinen Indonesia maupun ruan udara di
atasnya.
Setelah melalui perjuangan yang penjang,
deklarasi ini pada tahun 1982 akhirnya dapat diterima dan ditetapkan dalam
konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 (United Nations Convention On The Law
of The Sea/UNCLOS 1982). Selanjutnya delarasi ini dipertegas kembali dengan UU
Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan.
Pada tahun 1999, Presiden Soeharto
mencanangkan tanggal 13 Desember sebagai Hari Nusantara. Penetapan hari ini
dipertegas dengan terbitnya Keputusan Presiden RI Nomor 126 Tahun 2001,
sehingga tanggal 13 Desember resmi menjadi hari perayaan nasional.
2. Batas Maritim NKRI
DALAM suatu negara, wilayah adalah salah satu
unsur utama, selain dari dua unsur lainnya, yaitu rakyat dan pemerintah. Oleh
karena itu, adanya wilayah dalam suatu negara ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan. Suatu negara yang punya sistem pemerintahan negara yang
beberapa kewenangannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah, wilayah
pemerintahan daerah juga ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Dalam UUD 1945 yang asli tidak tercatum pasal
mengenai "Wilayah Negara Republik Indonesia". Namun demikian, pada
umumnya kita sepakat bahwa ketika para pendiri negara ini memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, wilayah negara Republik
Indonesia punya cakupan wilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, wilayah negara
Republik Indonesia merupakan wilayah yang mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda
1939, yaitu Teriroriale Zeen en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939),
pulau-pulau di wilayah ini dipisahkan oleh laut di sekelilingnya. Dalam
ordonansi ini setiap pulau hanya punya laut di sekeliling sejauh 3 mil dari
garis pantai. Ini berarti kapal asing dengan leluasa dapat melayari laut yang
mengelilingi atau yang memisahkan pulau-pulau tersebut.
Pemerintah Indonesia menyadari bahwa sebagai
kesatuan wilayah Indonesia hal ini sangat merugikan bangsa Indonesia sehingga
pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah Indonesia yang waktu itu dipimpin oleh
Ir. Djuanda mengeluarkan pengumuman pemerintah yang dikenal dengan Deklarasi
Djuanda yang menyatakan bahwa negara Republik Indonesia merupakan negara
kepulauan (Archipelagic State). Pada dasarnya konsep deklarasi ini menyatakan
bahwa semua laut/perairan di antara pulau-pulau Indonesia tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) karena laut antarpulau merupakan
laut penghubung dan satu kesatuan dengan pulau-pulau tersebut.
Batas wilayah negara Indonesia adalah 12 mil
dari garis pantai pulau-pulau terluar. Indonesia punya wewenang untuk mengelola
daerah kedaulatannya yang punya batas wilayah 12 mil dari garis pantai
pulau-pulau terluar tersebut. Termasuk kewenangan ini ruang udara di atasnya,
dasar laut (sea bed) dan tanah di bawah dasar laut (sub soil), serta semua
sumber daya maritim baik yang hidup maupun yang tidak. Tanggal 13 Desember 1957
ini kemudian menjadi tonggak sejarah Kelautan Indonesia yang kemudian dikenal
dengan Wawasan Nusantara. Deklarasi ini diratifikasi melalui UU No.
4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.
Bangsa Indonesia patut bangga karena berasal
dari Deklarasi Djuanda tersebut, sebagian besar hasil perjuangan bangsa
Indonesia mengenai hukum laut internasional tercantum dalam Konvensi PBB
tentang Hukum Laut yang dikenal dengan United Nations Convension on the Law of
the Sea (UNCLOS) yang ketiga tahun 1982 yang selanjutnya disebut Hukum Laut
(UNCLOS) 1982. Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCLOS 1982 dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.
Upaya mencantumkan Wilayah Negara Republik
Indonesia dalam UUD 1945 diawali dari perubahan kedua dan terus berlanjut
sampai pada perubahan keempat UUD 1945. Maka, dalam Bab IX A tentang Wilayah
Negara pada Pasal 25A tercantum Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas
dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang.
"Negara kepulauan berciri
Nusantara" punya arti bahwa negara kepulauan yang dimaksud terletak di
antara dua benua dan dua samudra, Benua Asia dan Australia, serta Samudra
Hindia dan Pasifik. Jadi, pernyataan "sebuah negara kepulauan yang beciri
Nusantara dan berbentuk negara kesatuan dan republik" sudah menunjukkan di
mana lokasi geografis negara kesatuan yang berbentuk republik itu yang
lengkapnya disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya dalam pasal
tersebut dinyatakan "dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya
ditetapkan dengan undang-undang". Pernyataan ini punya makna bahwa NKRI yang
merupakan negara kepulauan wajib menetapkan batas teritorial wilayahnya baik
wilayah darat dan laut.
Batas dan hak wilayah laut menurut UNCLOS
1982
Karena NKRI merupakan negara kepulauan, batas
di wilayah laut mengacu kepada UNCLOS 82 yang telah diratifikasi dengan UU No.
17 Tahun 1985. Oleh karena itu, Indonesia harus mengkaji dan menetapkan antara
lain batas laut teritorial, batas zona tambahan (contiguous zone), batas zona
ekonomi ekslusif (ZEE), batas landas kontinen (continental shelf).
Hak-hak, kewajiban, dan wewenang di dalam
batas teritorial wilayah laut NKRI akan berbeda dengan hak-hak dan wewenang di
luar batas teritorial, tetapi terletak di dalam batas ZEE dan batas landas
kontinen. Berdasarkan UNCLOS, batas laut teritorial sejauh maksimum 12 mil laut
dari garis pantai, sedangkan garis pantai didefinisikan sebagai muka laut
terendah. Jika dua negara bertetangga punya jarak antara garis pantainya kurang
dari 24 mil laut, batas teritorial antardua negara tersebut adalah garis
median. Garis median yaitu garis yang punya jarak yang sama (equidistance)
dengan garis pantai dari negara bertetangga tersebut. Sementara
itu, yang dimaksud dengan panjang 1 mil laut sama dengan 1852 meter. Dalam
wilayah laut teritorial berlaku hak-hak dan kewajiban dalam wilayah kedaulatan
NKRI.
Batas laut teritorial diukur berdasarkan
garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar bertempat di pantai terluar
dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Pengukuran ini merupakan aspek teknis
yang dilakukan oleh tenaga ahli geodesi yang mengerti tentang aspek legal dari
penetapan batas. Jadi, dalam penetapan batas sangat diperlukan keterpaduan
aspek teknis dan legal. Untuk mendukung hal itu, sangat diperlukan informasi
kewilayahan NKRI seperti informasi pulau-pulau terluar beserta nama-namanya.
Dapat dipahami bahwa UUD 1945 (asli) yang
dikeluarkan setelah proklamasi kemerdekaan belumlah sempurna, seperti belum
tercantumnya wilayah negara. Kira-kira lima tahun bangsa Indonesia berjuang
mempertahankan kemerdekaan yang telah diproklamasikan sehingga tahun 1950
mulailah bangsa Indonesia menata negara dengan sistem pemerintahan yang
disepakati pada waktu itu. Setelah tujuh tahun bangsa hidup dalam penataan
negara secara normal, berdampingan, sejajar, dan sama tinggi dengan
negara-negara lain barulah satu tonggak sejarah tentang wilayah negara
diumumkan, yaitu pada tanggal 13 Desember 1957. Setelah 46 tahun Deklarasi
Djuanda itu sudah sejauh mana Indonesia dapat menyelesaikan batas-batas di laut
terutama batas laut teritorial.
Dinamika penetapan batas wilayah negara
Dinamika penetapan batas wilayah negara perlu
kita simak. Deklarasi Djuanda diratifikasi melalui UU No. 4/PRP/1960 tentang
Perairan Indonesia. Dalam UU ini dicantumkan koordinat geografis titik-titik
dasar pantai terluar dari pulau terluar di wilayah negara. Pulau-pulau
Sipadan (kl. 10,4 ha) dan Ligitan (kl. 7,9 ha) tidak termasuk daftar pulau
terluar. Pada tanggal 8 Agustus 1996 diterbitkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang
Perairan Indonesia yang isinya sangat umum, yaitu menyampaikan hal-hal yang
berkaitan dengan UNCLOS 82 (yang telah diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985
dan menyatakan bahwa UU No. 4/PRP/1960 tentang Perairan tidak berlaku lagi.
Daftar koordinat titik-titik dasar pantai terluar dari pulau terluar tidak
tercantum dalam UU No. 6 Tahun 1996 ini.
Jadi, secara legal, wilayah negara
menjadi tidak jelas. Pada tanggal 16 Juni 1998 dikeluarkan Peraturan Pemerintah
No. 61 Tahun 1998 tentang Koordinat Geografis Titik Dasar Kepulauan di Laut
Nusantara. Dengan menganggap bahwa semua titik pangkal lengkap dengan koordinat
geografisnya yang tercantum pada Undang-Undang No. 4/PRP/1960 masih berlaku,
artinya semangat Deklarasi Djuanda yang menjiwai UU No. 4/PRP/1960, PP No. 61
Tahun 1998 ini adalah upaya bangsa Indonesia menutup kantong Natuna yang masih
terdapat dalam UU No. 4/PRP/1960. Pada tanggal 28 Juni 2002 keluar PP No. 38
Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia. Dalam PP No. 38/2002 ini dicantumkan titik pangkal di
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Dengan keluarnya keputusan Mahkamah
Internasional tentang kasus Sipadan dan Ligitan, PP No. 38/2002 ini perlu
dicabut dan segera diganti dengan yang baru.
Hal mengenai wilayah negara tercantum
pada UUD 1945 pada perubahan kedua UUD 1945 Bab IX A pasal 25E yang ditetapkan
pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 yang kemudian berubah menjadi pasal 25 A
pada perubahan keempat UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun
2002 yang bunyinya sudah disampaikan di awal tulisan ini.
Tabel 1. Perjanjian Penetapan Landas Kontinen
Negara Materi Tanda tangan Berlaku
Malaysia Penetapan garis batas landas
kontinen di Selat Malaka dan Laut China Selatan. Kuala Lumpur 27 Oktober 1969 7
November 1969
Thailand Penetapan garis batas landas
kontinen di Selat Malaka dan Laut Andaman. Bangkok 17 Desember 1971 7 April
1972
Malaysia-Thailand Penetapan garis batas
landas kontinen di Selat Malaka (bagian utara) Kuala Lumpur 21 Desember 1971 16
Juli 1973
Australia Penetapan garis batas dasar laut
Arafuru dan Daerah Utara Irian Jaya-Papua Nugini. Canberra 18 Mei 1971 18
November 1973
Australia Penetapan garis batas dasar laut
Selatan P Tanimbar dan P Timor Jakarta 9 Oktober 1973 8 November 1973
India Penetapan garis batas landas kontinen 8
Agustus 1974
15 Januari 1977
Tabel 2. Perjanjian Penetapan Garis Batas
Laut Wilayah
Negara Materi Tanda tangan Berlaku
Malaysia Penetapan garis batas laut wilayah
kedua negara di Selat Malaka 17 Maret 1970
Singapura Penetapan garis batas laut wilayah
kedua negara. Jakarta 25 Mei 1973 30 Agustus 1974
Papua Nugini Penetapan garis batas laut
wilayah 1973
Semoga bermanfaat yaakk :)