Kamis, 11 Juli 2013

Zona Tambahan

Diposting oleh dheetadheeto di 17.43
Kalo yang ini mungkin bisa jadi referensi buat bikin makalah tentang Rezim Hukum Laut Internasional khususnya Zona Tambahan :)
ZONA TAMBAHAN

Rezim zona tambahan diatur dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958. Dalam konferensi tersebut menghasilkan 4 konvensi, yaitu :
1.      Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
2.      Konvensi II tentang Laut Lepas
3.      Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas
4.      Konvensi IV tentang Landas Kontinen
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial, tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk:
1.  Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang berkenaan dengan masalah bea cukai  (customs), perpajakan  (fiskal), keimigrasian (imigration), dan kesehatan atau saniter.
2.  Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
- Pertama,  Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
- Ketiga,  Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat,  Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
Image
Gambar diambil dari : vadoc.wordpress.com
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24 mil dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak berdaulat atas kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai, Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang yang berkaitan dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zone ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara terkait, khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan undang-undang tersendiri mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua menyempurnakan RUU tentang Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan (fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan  Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2, pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4 berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU Kelautan yang sedang berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum zona tambahan dapat berjalan dengan menghemat waktu dan biaya,  dibandingkan dengan harus membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu dicermati berdasarkan azas  efektif dan efisien serta target yang harus dicapai pada akhir 2010, mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari  kementerian dan Institusi terkait  mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya, perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak bertentangan namun menambah kewenangan.

Kapal Cina Terus Berlayar Dekat Pulau Sengketa

Penjaga Pantai mengatakan kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan pada pukul 10 pagi hari ini.
Minggu , 20 Jan 2013 20:38 WIB

Skalanews -  Penjaga Pantai Jepang menyatakan tengah mengawasi tiga kapal pengawas maritim Cina yang berlayar tepat di luar perairan Jepang di lepas pantai Kepulauan Senkaku.
Jepang menguasai Kepulauan Senkaku yang terletak di Laut Cina Timur, yang juga diklaim oleh Cina dan Taiwan.
Penjaga Pantai mengatakan kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan pada pukul 10 pagi hari ini. Kapal-kapal itu berada sekitar 40 kilometer di lepas pantai Pulau Kubashima, salah satu pulau di kepulauan itu.
Kemarin, tiga kapal pengawas maritim Cina juga sempat dipergoki di dalam perairan Jepang. Mereka terus berlayar di zona tambahan setelah meninggalkan perairan Jepang.
Sejak Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku di bulan September, kapal-kapal Cina dikerahkan ke perairan teritorial Jepang.  Menurut Penjaga Pantai Jepang, ketiga kapal Cina tersebut telah keluar dari zona tambahan sekitar pukul 1:30 siang waktu Jepang.(nug)

Meninjau Ulang Posisi Indonesia di Laut China Selatan

Laut China Selatan mungkin termasuk kawasan sengketa kedaulatan dan hak berdaulat yang paling rumit dalam sejarah modern. Karena kerumitannya, untuk pertama kalinya ASEAN gagal mencapai satu konsensus dalam salah satu pertemuannya tahun ini. Asalan utamanya adalah ketidakberhasilan anggota ASEAN mencapai kata sepakat dalam menyikapi isu Laut China Selatan. Selain itu, Amerika Serikat, dengan terang-terangan menunjukkan kepeduliannya dengan kedatangan Hilary Clinton ke Asia beberapa kali untuk menyampaikan sikap dan pandangan Amerika Serikat.
Indonesia adalah salah satu negara yang secara geografis berada di dekat Laut China Selatan. Banyak pihak berspekulasi atau menganalisis posisi dan peran Indonesia terkait sengketa di Laut China Selatan. Ada yang berpendapat bahwa Indonesia tidak ada kaitannya dengan Laut China Selatan ada juga yang melihat Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari kerumitan di kawasan tersebut. Tulisan ini membahas posisi Indonesia dalam gonjang-ganjing Laut China Selatan serta peran yang mungkin dilakukan untuk mengatasi sengketa tersebut.
Laut China Selatan adalah kawasan laut semi tertutup atau semi-enclosed sea yang dikelilingi oleh China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei Filipina dan Taiwan (lihat Gambar 1). Karena dilingkupi atau hampir ditutup oleh daratan berbagai negara, kewenangan atas Laut China Selatan menjadi rumit dengan adanya kompetisi. Permasalahan utama adalah kedaulatan atas pulau-pulau kecil di Laut China Selatan yang masih disengketakan. Negara-negara di sekitar Laut China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil yang ada di sana dan sampai kini tidak berhasil mencapai kesepakatan. Selain itu, karena menurut hukum laut internasional pulau bisa menguasai laut maka sengketa tidak berhenti pada wilayah daratan tetapi merambah kawasan laut. Potensi sumberdaya hayati dan non hayati di kawasan tersebut tentu saja menjadi alasan sengketa kian pelik. Singkatnya, situasi di Laut China Selatan menjadi semakin rumit.
Kawasan laut setengah tertutup Laut China Selatan
Gambar 1 Kawasan laut setengah tertutup – Laut China Selatan
Klaim atas wilayah darat dan laut di Laut China Selatan disampaikan secara eksplisit misalnya oleh China yang mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Dalam perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena merupakan sembilan segmen garis putus-putus. China mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan yang konon menurut sejarah China merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi China. Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia.
Sementara itu, negara lain juga mengklaim pulau-pulau kecil di Laut China Selatan. Vietnam, misalnya, mengklaim dan menduduki Spratly Island dengan mendirikan tempat tinggal, lapangan udara dan tugu. Filipina juga mengklaim sekelompok pulau yang disebutnya Kalayaan Island Group (KIG) dan telah beraktivitas di sana. Malaysia dan Brunei, misalnya, mengklaim sebuah terumbu bernama Louisa Reef di sebelah utara Brunei. Kelompok pulau lain yang menjadi sengketa misalnya Spratly, Paracel dan Pratas. Indonesia di satu sisi tidak mengklaim satupun pulau yang disengketakan di Laut China Selatan. Meski demikian, Indonesia memiliki kedaulatan yang sudah diakui dunia internasional atas kelompok Kepulauan Natuna yang memang berada di bagian baratdaya Laut China Selatan. Karena kedaulatannya atas Kepulauan Natuna, Indonesia juga berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal di Natuna sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Akibatnya, Indonesia juga berhak atas kawasan maritim (laut teritorial, zona tambahan, zone ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas kontinen) di Laut China Selatan.
Hak Indonesia atas kawasan laut ini membuat Indonesia perlu berbagi laut dengan tetangganya di Laut China Selatan karena tetangga lain juga memiliki hak yang sama. Batas dasar laut (landas kontinen) sudah ditetapkan (didelimitasi) dengan Malaysia (1969) dan Vietnam (2003) seperti terlihat pada Gambar 2. Memang Indonesia hanya menganggap dua negara tersebut sebagai tetangga yang memerlukan delimitasi maritim di Laut China Selatan. Meski batas dasar laut sudah ditetapkan, batas perairan (ZEE) belum disepakati oleh Indonesia, Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan. Sementara itu, Indonesia sendiri sudah mengusulkan batas ZEE secara sepihak dan memerlukan perundingan dengan Malaysia dan Vietnam. Mungkin ada yang bertanya, mengapa batas dasar laut berbeda dengan batas perairan? Mengapa tidak dibuat sama? Memang demikianlah hukum laut internasional mengaturnya. Dalam bahasa hukum, rejim yang mengatur keduanya berbeda. Lihat Gambar 2.
Klaim dan batas maritim di Laut China Selatan
Gambar 2 Klaim dan batas maritim di Laut China Selatan
Dalam bahasa sederhana, dasar laut antara Indonesia, Malaysia dan Vietnam sudah dibagi tetapi kewenangan akan air di atasnya belum disepakati. Jikapun ada pembagian perairan, itu merupakan usulan sepihak, bukan kesepakatan. Menilik fakta ini, jelas Indonesia memiliki urusan di Laut China Selatan yaitu menetapkan batas maritim dengan Malaysia dan Vietnam. Selain itu, jika mengacu pada klaim nine-dashed line China tahun 1947, ada kemungkinan adanya tumpang tindih klaim maritim antara Indonesia dengan China di Laut China Selatan. Analisis geospasial teknis yang penulis lakukan menunjukkan adanya kemungkinan kawasan tumpang tindih ini. Meski demikian, ketelitian analisis ini bisa dipertanyakan karena kenyataannya China memang tidak pernah menyampaikan koordinat klaimnya di Laut China Selatan. Selain itu, klaim China in berupa garis putus-putus sehingga kawasan yang dilingkupi oleh klaim tersebut tidak bisa ditentukan secara akurat. Analisis tersebut menggunakan asumsi bahwa klaim China berupa garis utuh hasil penyambungan (interpolasi) garis putus-putus nine-dashed line (lihat Gambar 2).
Untuk menentukan ada tidaknya tumpang tindih klaim antara Indonesia dan China di Laut China Selatan diperlukan adanya klarifikasi klaim oleh China. Perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak mengakui klaim China yang ditampilkan dalam nine-dashed line. Dalam salah satu pernyataannya tahun 2009 kepada PBB, Indonesia menegaskan bahwa klaim China itu tidak memiliki dasar internasional dan merupakan pelanggaran terhadap konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS).
Kesimpulannya, Indonesia memang tidak terlibat dalam sengketa kedaulatan atas wilayah daratan (pulau/karang) di Laut China Selatan. Sebagai pihak netral, Indonesia bisa tetap menjalankan perannya untuk memediasi pihak-pihak bersengketa, jika memang diharapkan. Tentu saja Indonesia tidak bisa melakukan intervensi aktif karena kedaulatan adalah persoalan sensitif dan menjadi urusan internal pihak-pihak yang bersengketa. Sebagai salah satu kekuatan utama di kawasan, Indonesia bisa menunjukkan niat baik dengan membuka diri sebagai bagian dari solusi, bukan bagian dari masalah.
Meski tidak terlibat dalam sengketa wilayah daratan, bukan berarti Indonesia tidak terlibat sama sekali dalam kerumitan isu Laut China Selatan. Yang pasti, Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk berbagi laut (ZEE) dengan Malaysia dan Vietnam di kawasan baratdaya Laut China Selatan. Selain itu, perilaku China yang semakin agresif akan klaimnya di Laut China Selatan mungkin mengharuskan Indonesia meninjau kembali posisinya terkait interaksi maritim dengan China. Apakah China adalah tetangga Indonesia yang memerlukan batas maritim? Itu adalah pertanyaan yang wajib dicari jawabannya.











KESIMPULAN
Konvensi Jenewa 1958 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930.
            Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan garis pangkal.
Pasal 1:  menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang   terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.
Pasal 3:  memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai garis pangkal biasa (“normal” base-line)
Pasal 4:  mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-lines) sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni:
  1. Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam.
  2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
            Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus dari ujung ke ujung.
            Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2).
            Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan  air diwaktu pasang surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan air (ayat 3).
            Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut lepas. (ayat 5).
            Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
            Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana, dan seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara. Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut sebagai garis pangkal biasa (normal base-line). Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat (1).
            Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case).
            Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59”…………, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.   
          Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut diukur dari batas laut teritorial.
            Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:
a.    Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan/ serangan dari luar;
b.    Pengawasan atas keluar masuknya orang asing (imigrasi);
c.    Penyelenggaraan peraturan fiskal (bea dan cukai);
d.    Pekerjaan dilapangan kesehatan (karantina);
e.    Kepentingan perikanan
f.     Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya.
Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam  “Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut.
            Bila yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia,  dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
            Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu untuk :
  1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
  2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas  yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.

















DAFTAR PUSTAKA


Kusumaatmadja, Mochtar. 1978.  Hukum Laut Internasional. Bandung :  Binacipta.
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional. Bandung : PT Alumni.
Sodik, M. Dikdik. 2011. Hukum Laut Internasional & Pengaturannya di Indonesia. Bandung : PT.REfika Aditama.

Internet  :

http://wikipedia/Konvensi_Perserikatan_Bangsa_Bangsa_tentang_Hukum_Laut.com

http://SHNEWS.CO/mare_clausum_mare_liberum.com




 

 




0 komentar:

Posting Komentar

 

dhee's blog Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos