Kalo yang ini mungkin bisa jadi referensi buat bikin makalah tentang Rezim Hukum Laut Internasional khususnya Zona Tambahan :)
ZONA TAMBAHAN
Rezim
zona tambahan diatur dalam Konferensi Hukum Laut Jenewa 1958. Dalam konferensi
tersebut menghasilkan 4 konvensi, yaitu :
1.
Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan
2.
Konvensi II tentang Laut Lepas
3. Konvensi III tentang Perikanan dan
Perlindungan Kekayaan Hayati Laut Lepas
4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen
Menurut J.G Starke, zona tambahan adalah suatu
jalur perairan yang berdekatan dengan batas jalur maritim atau laut teritorial,
tidak termasuk kedaulatan negara pantai, tetapi dalam zona tersebut negara
pantai dapat melaksanakan hak-hak pengawasan tertentu untuk mencegah pelaggaran
peraturan perundang-undangan saniter, bea cukai, fiskal, pajak dan imigrasi di
wilayah laut teritorialnya. Sepanjang 12 mil atau tidak melebihi 24 mil dari
garis pangkal.
Zona tambahan didalam pasal 24 (1) UNCLOS III
dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut
teritorial negara pantai tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang
dibutuhkan untuk:
1. Mencegah pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya yang
berkenaan dengan masalah bea cukai (customs), perpajakan (fiskal), keimigrasian
(imigration), dan kesehatan atau saniter.
2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan
perundang-undangannya tersebut di atas.
Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum
dari zona tambahan tidak boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis
pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi
negara-negara yang mempunyai lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut (ini
menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958), dan sudah tidak berlaku lagi setelah
adanya ketentuan baru dalam Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2
Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut,
dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini
beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah g aris pangkal.
- Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur
dari garis pangkal.
- Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis
pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
tambahan itu adalah 12 mil (24-12) mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut teritorial.
- Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki
yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi
Hukla 1982. Hal ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara
pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi
oleh hak lintas damai.
Gambar diambil dari : vadoc.wordpress.com
Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona
tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona
tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara
lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah
melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang
Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang.
Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari
UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan
skala atau skala-skala yang memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai
gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas
memerinci datum geodetik.
Wilayah laut Indonesia dibagi menjadi 3 bagian
yakni laut teritorial sejauh 12 mil, Zona Tambahan sejauh 24 mil dan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejauh 200 mil, untuk melindungi hak berdaulat atas
kekayaan dan yuridiksi yang dimiliki oleh Indonesia terhadap wilayah
perairannya maka dibutuhkan suatu peraturan, dalam hal ini peraturan yang
mengatur tentang Zona Tambahan, yang mana Indonesia mempunyai Yuridiksi
pengawasan di Zona Tambahan untuk mencegah dan menindak pelanggaran Bea Cukai,
Imigrasi, Fiskal dan saniter. Zona Tambahan Indonesia adalah perairan yang
berdampingan dengan Laut Teritorial Indonesia yang dapat diukur selebar 24 mil
laut dari Garis Pangkal Lurus Kepulauan.
Pendapat pakar hukum laut, Hasyim Djalal, mengenai
Zona Tambahan (contiguous zone) adalah sepanjang yang berkaitan
dengan batas contiguous zone, belum ada satupun batas yang
ditetapkan dengan Negara-negara tetangga. Malah Indonesia sampai sekarang belum
lagi mengundangkan ketentuannya mengenai zona ini. Walaupun seluruh Negara
tetangga Indonesia telah mengundangkannya. Disinilah kelalaian Indonesia yang
sangat menonjol. Karena itu sangat penting bagi Indonesia untuk menetapkan
ketentuan perundang-undangan mengenai ketentuan contiguous zone
ini dan kemudian merundingkan batas-batasnya dengan Negara-negara terkait,
khususnya dengan Thailand, Malaysia, Philipina, dan Australia.
Beberapa alternatif penyusunan pengaturan hukum di
Zona Tambahan, yakni alternatif pertama dibuatkan undang-undang tersendiri
mengenai Zona Tambahan Indonesia, alternatif kedua menyempurnakan RUU tentang
Kelautan dengan menambahkan pengaturan-pengaturan hukum tentang Zona Tambahan
Indonesia, alternatif ketiga menyempurnakan Undang-undang Nomor 5 tahun 1983
tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum
tentang Zona Tambahan Indonesia, alternatif keempat menyempurnakan
Undang-undang di bidang-bidang Kepabeanan (Bea Cukai), Imigrasi, Perpajakan
(fiskal), saniter (kesehatan/karantina) dan cagar budaya, dengan menambahkan
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia, dan alternatif yang kelima
menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang perairan Indonesia
dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia.
Alternatif yang paling tepat adalah alternatif
kelima yakni menyempurnakan Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia dengan menambahkan pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia,
dengan alasan judul pengaturan dalam UNCLOS 1982 adalah: “TERRITORIAL
SEA AND CONTIGUOUS ZONE” maka lebih praktis menyempurnakan
Undang-undang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dengan menambahkan
pengaturan hukum tentang Zona Tambahan Indonesia. Konsep pengaturan hukum di
Zona Tambahan Indonesia, yang dibagi kedalam 4 pasal, yaitu pasal 1 ayat (1) di
zona yang berbatasan denga Laut Teritorial Indonesia, selanjutnya disebut Zona
Tambahan Indonesia, Aparat Penegak Hukum yang berwenang, dapat melakukan
pengawasan yang perlu untuk : a. Mencegah pelanggaran atas peraturan
perundang-undangan di bidang kepabeanan, ke fiskalan, keimigrasian, dan
kekarantinaan dalam wilayah darat atau wilayah perairan Indonesia, b. Menindak
pelanggaran atas peraturan perundang-undangan tersebut dalam huruf a yang
dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorial Indonesia. Ayat (2) zona
tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut diukur dari garis pangkal untuk
mengatur lebar Laut Teritorial. Pasal 2 pengangkatan benda purbakala atau benda
sejarah dari zona tambahan Indonesia hanya dapat dilakukan dengan ijin
pemerintah. Pasal 3 ayat (1) dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 2,
pengangkatan dan pemanfaatan kerangka kapal, benda berharga atau muatan kapal
yang tenggelam (BMKT) dari zona tambahan, hanya dapat dilakukan dengan ijin
pemerintah. Ayat (2) kerangka kapal atau barang berharga asal muatan kapal yang
tenggelam sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), yang dalam waktu 30 (tiga
puluh) tahun setelah tenggelam tidak diangkat dari dasar laut, dianggap telah
ditinggalkan oleh pemiliknya, dan oleh karena itu menjadi milik Negara. Pasal 4
berisi sanksi atas pelanggaran hukum yang berlaku di wilayah Negara Republik
Indonesia berlaku terhadap pelanggaran hukum atas ketentuan-ketentuan di zona
tambahan Indonesia.
Ada 2 hal yang belum diatur dan membutuhkan
peraturan perundang-undangan yakni Zona Tambahan dan Landas Kontinen. Sebaiknya
pengaturan hukum zona tambahan dimasukkan kedalam RUU Kelautan yang sedang
berjalan di DPR, hal ini dimaksudkan agar pengaturan hukum zona tambahan dapat
berjalan dengan menghemat waktu dan biaya, dibandingkan dengan harus
membuat UU sendiri. Banyak pendapat lebih condong untuk memasukan pengaturan
hukum zona tambahan kedalam UU ZEE atau RUU kelautan.
Sebagai kesimpulan, mengerucut kepada dua
alternatif yakni menyempurnakan RUU Kelautan atau merevisi UU nomor 6 tahun
1996 tentang Perairan Indonesia.
Agar kesepakatan penentuan penambahan pengaturan
hukum tentang Zona Tambahan Indonesia dari 2 alternatif terpilih (RUU Kelautan
atau UU No.6 th. 1996 tentang Perairan Indonesia), perlu dicermati berdasarkan
azas efektif dan efisien serta target yang harus dicapai pada akhir 2010,
mengingat masih terjadinya perdebatan cukup “alot” dari
kementerian dan Institusi terkait mengenai tindak lanjut RUU Kelautan. Selanjutnya,
perlu juga di perhatikan peraturan2 yang sudah ada di seluruh kementerian atau
lembaga serta institusi terkait agar tidak terjadi tumpang tindih, tidak
bertentangan namun menambah kewenangan.
Kapal
Cina Terus Berlayar Dekat Pulau Sengketa
Penjaga Pantai mengatakan kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan
pada pukul 10 pagi hari ini.
Minggu , 20 Jan 2013 20:38 WIB

Skalanews - Penjaga
Pantai Jepang menyatakan tengah mengawasi tiga kapal pengawas maritim Cina yang
berlayar tepat di luar perairan Jepang di lepas pantai Kepulauan Senkaku.
Jepang menguasai Kepulauan
Senkaku yang terletak di Laut Cina Timur, yang juga diklaim oleh Cina dan Taiwan .
Penjaga Pantai mengatakan
kapal-kapal Cina itu berlayar di zona tambahan pada pukul 10 pagi hari ini.
Kapal-kapal itu berada sekitar 40 kilometer di lepas pantai Pulau Kubashima,
salah satu pulau di kepulauan itu.
Kemarin, tiga kapal pengawas
maritim Cina juga sempat dipergoki di dalam perairan Jepang. Mereka terus
berlayar di zona tambahan setelah meninggalkan perairan Jepang.
Sejak Jepang menasionalisasi Kepulauan Senkaku di bulan September,
kapal-kapal Cina dikerahkan ke perairan teritorial Jepang. Menurut Penjaga Pantai Jepang, ketiga kapal
Cina tersebut telah keluar dari zona tambahan sekitar pukul 1:30 siang waktu
Jepang.(nug)
Sumber : www.sklanews.com
Meninjau
Ulang Posisi Indonesia di Laut China Selatan
Laut China Selatan mungkin termasuk kawasan
sengketa kedaulatan dan hak berdaulat yang paling rumit dalam sejarah modern. Karena
kerumitannya, untuk pertama kalinya ASEAN gagal mencapai satu konsensus dalam
salah satu pertemuannya tahun ini. Asalan utamanya adalah ketidakberhasilan
anggota ASEAN mencapai kata sepakat dalam menyikapi isu Laut China Selatan.
Selain itu, Amerika Serikat, dengan terang-terangan menunjukkan kepeduliannya
dengan kedatangan Hilary Clinton ke Asia
beberapa kali untuk menyampaikan sikap dan pandangan Amerika Serikat.
Laut China
Selatan adalah kawasan laut semi tertutup atau semi-enclosed sea yang
dikelilingi oleh China, Vietnam, Malaysia, Singapura, Indonesia, Brunei
Filipina dan Taiwan (lihat Gambar 1). Karena dilingkupi atau hampir ditutup
oleh daratan berbagai negara, kewenangan atas Laut China Selatan menjadi rumit
dengan adanya kompetisi. Permasalahan utama adalah kedaulatan atas pulau-pulau
kecil di Laut China Selatan yang masih disengketakan. Negara-negara di sekitar
Laut China Selatan mengklaim kepemilikan atas berbagai pulau kecil yang ada di sana dan sampai kini tidak
berhasil mencapai kesepakatan. Selain itu, karena menurut hukum laut internasional
pulau bisa menguasai laut maka sengketa tidak berhenti pada wilayah daratan
tetapi merambah kawasan laut. Potensi sumberdaya hayati dan non hayati di
kawasan tersebut tentu saja menjadi alasan sengketa kian pelik. Singkatnya,
situasi di Laut China Selatan menjadi semakin rumit.
Klaim atas
wilayah darat dan laut di Laut China Selatan disampaikan secara eksplisit
misalnya oleh China
yang mengeluarkan peta pada tahun 1947. Peta tersebut memuat garis putus-putus
yang melingkupi hampir seluruh kawasan Laut China Selatan. Dalam
perkembangannya garis klaim itu dikenal dengan nine-dashed line karena
merupakan sembilan segmen garis putus-putus. China
mengajukan klaim ini berdasarkan pada prinsip “historic waters” atau perairan
yang konon menurut sejarah China
merupakan bagian dari wilayah atau yurisdiksi China . Klaim ini tidak diakui oleh negara-negara di
kawasan, termasuk Indonesia.
Sementara itu, negara lain juga mengklaim
pulau-pulau kecil di Laut China Selatan. Vietnam, misalnya, mengklaim dan
menduduki Spratly Island dengan mendirikan tempat tinggal, lapangan udara dan
tugu. Filipina juga mengklaim sekelompok pulau yang disebutnya Kalayaan Island
Group (KIG) dan telah beraktivitas di sana. Malaysia dan Brunei, misalnya,
mengklaim sebuah terumbu bernama Louisa Reef di sebelah utara Brunei. Kelompok
pulau lain yang menjadi sengketa misalnya Spratly, Paracel dan Pratas.
Indonesia di satu sisi tidak mengklaim satupun pulau yang disengketakan di Laut
China Selatan. Meski demikian, Indonesia memiliki kedaulatan yang sudah diakui
dunia internasional atas kelompok Kepulauan Natuna yang memang berada di bagian
baratdaya Laut China Selatan. Karena kedaulatannya atas Kepulauan Natuna,
Indonesia juga berhak atas kawasan laut yang lebarnya diukur dari garis pangkal
di Natuna sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Akibatnya, Indonesia
juga berhak atas kawasan maritim (laut teritorial, zona tambahan, zone ekonomi
eksklusif (ZEE), dan landas kontinen) di Laut China Selatan.
Hak Indonesia atas kawasan laut ini membuat
Indonesia perlu berbagi laut dengan tetangganya di Laut China Selatan karena
tetangga lain juga memiliki hak yang sama. Batas dasar laut (landas kontinen)
sudah ditetapkan (didelimitasi) dengan Malaysia (1969) dan Vietnam (2003)
seperti terlihat pada Gambar 2. Memang Indonesia hanya menganggap dua negara
tersebut sebagai tetangga yang memerlukan delimitasi maritim di Laut China
Selatan. Meski batas dasar laut sudah ditetapkan, batas perairan (ZEE) belum
disepakati oleh Indonesia, Malaysia dan Vietnam di Laut China Selatan.
Sementara itu, Indonesia sendiri sudah mengusulkan batas ZEE secara sepihak dan
memerlukan perundingan dengan Malaysia dan Vietnam. Mungkin ada yang bertanya,
mengapa batas dasar laut berbeda dengan batas perairan? Mengapa tidak dibuat
sama? Memang demikianlah hukum laut internasional mengaturnya. Dalam bahasa
hukum, rejim yang mengatur keduanya berbeda. Lihat Gambar 2.
Dalam bahasa sederhana, dasar laut antara
Indonesia, Malaysia dan Vietnam sudah dibagi tetapi kewenangan akan air di
atasnya belum disepakati. Jikapun
ada pembagian perairan, itu merupakan usulan sepihak, bukan kesepakatan.
Menilik fakta ini, jelas Indonesia memiliki urusan di Laut China Selatan yaitu
menetapkan batas maritim dengan Malaysia dan Vietnam. Selain itu, jika mengacu
pada klaim nine-dashed line China tahun 1947, ada kemungkinan adanya tumpang
tindih klaim maritim antara Indonesia dengan China di Laut China Selatan.
Analisis geospasial teknis yang penulis lakukan menunjukkan adanya kemungkinan
kawasan tumpang tindih ini. Meski demikian, ketelitian analisis ini bisa
dipertanyakan karena kenyataannya China memang tidak pernah menyampaikan
koordinat klaimnya di Laut China Selatan. Selain itu, klaim China in berupa
garis putus-putus sehingga kawasan yang dilingkupi oleh klaim tersebut tidak
bisa ditentukan secara akurat. Analisis tersebut menggunakan asumsi bahwa klaim
China berupa garis utuh hasil penyambungan (interpolasi) garis putus-putus
nine-dashed line (lihat Gambar 2).
Untuk menentukan ada tidaknya tumpang tindih klaim
antara Indonesia dan China di Laut China Selatan diperlukan adanya klarifikasi
klaim oleh China. Perlu diingat juga bahwa Indonesia tidak mengakui klaim China
yang ditampilkan dalam nine-dashed line. Dalam salah satu pernyataannya tahun
2009 kepada PBB, Indonesia menegaskan bahwa klaim China itu tidak memiliki
dasar internasional dan merupakan pelanggaran terhadap konvensi PBB tentang Hukum
Laut 1982 (UNCLOS).
Meski tidak
terlibat dalam sengketa wilayah daratan, bukan berarti Indonesia tidak terlibat sama
sekali dalam kerumitan isu Laut China Selatan. Yang pasti, Indonesia memiliki pekerjaan rumah untuk berbagi
laut (ZEE) dengan Malaysia
dan Vietnam
di kawasan baratdaya Laut China Selatan. Selain itu, perilaku China yang semakin agresif akan klaimnya di Laut
China Selatan mungkin mengharuskan Indonesia
meninjau kembali posisinya terkait interaksi maritim dengan China . Apakah China adalah tetangga Indonesia yang memerlukan batas
maritim? Itu adalah pertanyaan yang wajib dicari jawabannya.
KESIMPULAN
Konvensi
Jenewa 1958 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur Tambahan
meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak
lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh perumusannya yang jelas dalam
konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930.
Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang merupakan
perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting
diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5 mengenai penarikan
garis pangkal.
Pasal 1:
menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang
terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
Pasal 2:
menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga
ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.
Pasal 3:
memuat ketentuan mengenai garis pasang surut (low water mark) sebagai
garis pangkal biasa (“normal” base-line)
Pasal 4:
mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung (straight base-lines)
sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan-keadaan
tertentu.. Dalam penjabarannya, ayat (1) menetapkan dalam hal-hal mana dapat
dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni:
- Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam.
- Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
Ayat selanjutnya (2, 3, dan 5) memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di
dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis pangkal lurus
dari ujung ke ujung.
Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang terlalu
banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada
sisi dalam (sisi darat) garis-garis demikian harus cukup dekat pada wilayah
daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, (ayat 2).
Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau atau
bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air diwaktu pasang
surut (low-tide elevations) kecuali apabila diatasnya telah didirikan
mercusuar-mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas
permukaan air (ayat 3).
Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan
sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan laut
lepas. (ayat 5).
Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai penetapan
garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan
garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-kebutuhan istimewa
yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan dengan
kebiasaan-kebiasaan dan kebutuhan yang telah berlangsung lama.
Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana, dan
seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara
penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara.
Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila
kita hubungkan ayat (1) ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut
sebagai garis pangkal biasa (normal base-line). Ketentuan ini berarti
suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi
syarat-syarat ayat (1).
Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis pangkal
lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember
1951 dalam perkara Sengketa Perikanan antara Inggris dan Norwegia (Anglo-Norwegian
Fisheries Case).
Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam
konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi keputusan
Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59”…………, tidak
mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan dengan perkara
yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis
pangkal yang – dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.
Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa
melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang
menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun
tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut diukur
dari batas laut teritorial.
Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang
penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan serta menjalankan
tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain:
a. Pertahanan keselamatan negara
terhadap gangguan/ serangan dari luar;
b. Pengawasan atas keluar
masuknya orang asing (imigrasi);
c. Penyelenggaraan peraturan
fiskal (bea dan cukai);
d. Pekerjaan dilapangan
kesehatan (karantina);
e. Kepentingan perikanan
f. Pertambangan dan
hasil-hasil alam lainnya.
Oleh
karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam “Territoriale
Zee en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1
a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur
dari garis air rendah (laagwaterlijn) daripada pulau-pulau dan bagian
pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebied) dari
Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan
dirasakan sudah tidak cukup lagi untuk menjamin dengan sebaik-baiknya
kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam
batas lautan territorial suatu negara. Oleh karena itu, pada tahun 1996
pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia
sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS III/1982 yang menetapkan batas
laut teritorial seluas 12 mil laut.
Bila yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu daerah laut yang
berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut
dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan adanya
lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan
Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan perairan-perairan
tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan-kewenangan tertentu
untuk :
- Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an, perpajakan (fiskal), imirasi, maupun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
- Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja, Mochtar. 1978. Hukum Laut Internasional.
Bandung :
Binacipta.
Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional. Bandung : PT Alumni.
Sodik,
M. Dikdik. 2011. Hukum Laut Internasional
& Pengaturannya di Indonesia. Bandung
: PT.REfika Aditama.
0 komentar:
Posting Komentar